Jumat, 11 Januari 2013

koperasi hidup segan mati tak mau


KOPERASI INDONESIA “HIDUP SEGAN MATI TAK MAU”

Mengapa per koperasian di indonesia seperti hidup segan mati tak mau ?
 
Sejak awal didirikannya, Koperasi di gadang-gadang sebagai salah satu sokoguru perekonomian Indonesia. Sempat menjadi salah satu unsur vital perekonomian rakyat pada era orde baru, kini koperasi justru semakin ditinggalkan. Hal tersebut semakin diperparah dengan kebijakan pemerintah yang nampaknya lebih percaya kepada para pemodal ketimbang koperasi dalam menjalankan fungsi perekonomian rakyat.
Koperasi memiliki prinsip-prinsip usaha yang berbeda dengan badan usaha lainya, sebagaimana tercantum dalam UU No.12 tahun 1967, dan UU No.25 tahun 1992, prinsip koperasi terdiri dari: 1) Sifat keanggotaanya terbuka dan sukarela; 2) Kekuasaan tertinggi berada pada rapat anggota; 3) Pembagian SHU diatur menurut jasa anggota; 4) Pengembangan kesejahtraaan; 5) Swadaya, Swakerta, dan Swasembada; 5) Kemandirian; 6) Adanya pembaasan bunga atas modal.

Dari rincian penjelasan diatas, terlihat bahwasanya koperasi memiliki karakteristik berbeda dengan badan usaha lainya, dimana koperasi menggambarkan suatu pendirian badan usaha secara mandiri, dengan usaha sendiri, modal sendiri, dan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat dalam rangka mencapai kesejahteraan anggota secara khusus dan masyarakat secara umum.

Satu hal yang menjadi pertanyaan saat ini yaitu kemanakah sekarang koperasi? Padahal dulu para pendiri bangsa ini bercita-cita mewujudkan koperasi menjadi sokoguru perekonomian Indonesia. Koperasi diharapkan bisa menjadi motor penggerak ekonomi kerakyatan di tengah carut marutnya kondisi perekonomian dunia saat ini. Namun kenyataan di lapangan berbeda. Banyak koperasi sekarang yang hanya tinggal papan nama saja. Padahal sejatinya koperasi dibentuk untuk menyejahterakan anggotanya.

Hidup segan mati tak mau, itulah keadaan kebanyakan koperasi di Indonesia sekarang. Koperasi sekarang dipandang sebelah mata dan diidentikkan hanya sebagai tempat orang-orang miskin meminjam kredit murah. Koperasi yang pada awalnya memang diciptakan untuk membangkitkan gairah ekonomi kerakyatan kini justru seolah kehilangan tajinya.
Seperti 1 kasus di daerah Jakarta selatan 2.700 koperasi, hanya 50 persen saja yang masih berjalan, sedangkan yang lainnya mengalami mati suri karena faktor kurang baiknya perencanaan program.

"Koperasi yang terdaftar di wilayah Jakarta Selatan ada 2.700, tapi yang masih efektif berjalan paling hanya 50 persen saja kata A Rofiq, Kepala Seksi Koperasi Suku Dinas Koperasi Usaha Mikro Kecil Menengah dan Perdagangan (KUMKMP) Jakarta Selatan, Selasa (9/10). dikarenakan kurangnya perencanaan dan kerja keras memicu gagalnya koperasi bisa berjalan dengan baik. Karena saat ini seharusnya koperasi bisa menjadikan tonggak perekonomian bagi masyarakat lapisan bawah. "Mungkin banyak koperasi yang tidak bisa menjalankan program”.

KONDISI KOPERASI
Nasib koperasi di Indonesia semakin muram, tak ditangani sepenuh hati. Pemerintah agaknya lebih menekankan pada sistem ekonomi neoliberal. Cita-cita untuk menjadikan koperasi sebagai sokoguru perekonomian Indonesia, agaknya semakin jauh panggang dari api.
Kondisi koperasi, terutama KUD (Koperasi Unit Desa), bak kerakap tumbuh diatas batu, mati enggan hidup pun tak mau .
Justru yang lebih sering terdengar datang dari berbagai pelosok negeri, kegagalan demi kegagalan yang terjadi pada koperasi. Meski pemerintah memiliki kementerian yang menangani koperasi, namun kemauan pemerintah membangun koperasi belum sepenuh hati. Pemerintah lebih berasyik masuk dengan pembangunan sistem ekonomi yang tak pro rakyat, yakni sistem ekonomi neoliberal.
Salah satu contoh yaitu :
koperasi yang bernasib demikian adalah Koperasi Unit Desa (KUD) Baik di Kecamatan Pujon Kabupaten Malang.
KUD Baik sendiri membawahi beberapa usaha seperti Unit Simpan Pinjam, pakan ternak, obatan-obatan pertanian, dan pembayaran listrik. KUD Baik ini melayani 10 kelurahan yang ada di Kecamatan Pujon.

Dwi, Ketua KUD Baik mengatakan bahwa KUD ini pada awal berdirinya mampu mengelola para petani sayur yang ada di Kecamatan Pujon. Tetapi sejalan dengan perkembangan waktu, petani di Pujon sangat sulit dikelola Koperasi. Menurut Dwi, ada tiga alasan utama mengapa petani tersebut sulit dikelola. Salah satunya adalah kualitas Sumber Daya Manusia yang relatif rendah. Belum lagi komoditas yang dikelola di Kecamatan Pujon adalah komoditas sayur yang tidak tahan lama.

Kendala utama yang paling membuat koperasi kian terkesan mati suri adalah banyaknya tengkulak sayur. “Ya, masalah paling besar pastinya dari tengkulak,” paparnya saat ditemui di Kantor KUD Baik. Ulah tengkulak dalam perekonomian masyarakat Indonesia memang sudah menjadi cerita lama. Hampir di setiap perdagangan komoditas bahan pokok pasti terdapat tengkulak.

Keberadaan tengkulak tentu saja sangat merugikan petani, sebab dengan kekuatan modal yang mereka miliki mereka mampu mengusai pasar dengan membeli komoditas pertanian dalam harga murah kemudian menjual dengan harga jauh diatas harga beli dengan motivasi meraup keuntungan sebesar-besarnya.

Mengenai penentuan harga sayur di pasar, Dwi menjawab bahwa pemerintah belum memiliki proteksi dan belum ada peraturan yang jelas. Belum adanya pembatasan terhadap pedagang sehingga pedagang dengan seenaknya saja menetapkan harga sayur. “KUD sebenarnya bisa (menentukan harga sayur), tapi belum ada peraturan jelas, tidak ada patokan resmi terhadap harga-harga produk pertanian,” jelas Dwi.

Namun untuk mengurangi dampak kerugian yang disebabkan oleh banyaknya tengkulak, para petani di Pujon kini mencoba membuat suatu terobosan dengan menggelar Pasar Tugu (Sabtu-Minggu). Pasar ini bertujuan memperpendek rantai pemasaran sayur, jadi sayur atau komoditas pertanian lainnya dari petani bisa langsung dijual kepada konsumen tanpa perantara tengkulak. “Pasar ini memang baru di buka sekali, rencananya setiap Minggu akan kami gelar. Mudah-mudahan mampu membantu nasib para petani,” harap Dwi.

Pemerintah sebagai regulator dirasa belum mampu berbuat banyak terhadap penentuan harga sayur di pasar. “Saat ini berbeda dengan zaman Soeharto dulu, sekarang hanya sebatas mengoordinir, tapi tindak lanjutnya tidak ada,” keluh Dwi. Bahkan Koperasi Baik sendiri pada zaman Orde Baru sempat memiliki saham di pabrik rokok Gudang Garam Kediri.

Senada dengan Dwi, Zainuddin salah satu pengurus KUD Baik juga mengeluhkan hal yang sama. Selain dalam penentuan harga, menurut pria yang sudah puluhan tahun bekerja di KUD baik ini para tengkulak juga menguasai rantai distribusi pupuk. “Dulu ketika zaman Orde Baru, distribusi pupuk dari pemerintah disalurkan lewat koperasi. Namun saat ini pemerintah lebih percaya kepada distributor tunggal,” papar pria yang juga bekerja sebagai petani tesebut.

Menurutnya hal tersebut sangat disayangkan sebab akan mematikan koperasi secara perlahan dan hanya menguntungkan pihak distributor tunggal yang memang lebih bermodal besar. KUD Baik sendiri dulu sempat menjadi distributor pupuk di Pujon, tetapi sejak tahun 2007 kewenangan tersebut dicabut tanpa alasan yang jelas, KUD Baik pun kini hanya menjadi pengecer saja.

KUD tidak tinggal diam walau bantuan dari pemerintah bisa dibilang minim dalam penentuan harga sayur. KUD Baik bersama GAPOKTAN (Gabungan Kelompok Tani) yang membawahi 43 kelompok tani yang ada di Kecamatan Pujon, telah membuat program Pasar Tugu yang berada di STA (Sub Terminal Agribisnis). “Rancangan Pasarnya sudah dibuat sejak setahun lalu, dan baru saja diadakan kemarin (kapan?),” jelas Dwi. Pasar Tugu diadakan setiap Sabtu dan Minggu di STA. Harga sayuran yang dijual di pasar tersebut ditentukan sendiri oleh petani dan tidak ada perantara tengkulak sehingga para petani tidak dirugikan.
 Ditengah cengkraman para tengkulak dan pemilik modal, ada satu hal yang membuat KUD Baik sampai saat ini tetap bertahan yaitu Unit Simpan Pinjam. Prinsip simpan pinjam di KUD Baik tidak seperti bank, jika di bank untuk meminjam uang harus ada jaminan pasti, di KUD untuk meminjam uang, jaminannya hanya berupa modal kekeluargaan atau kepercayaan. “Inilah asas yang banyak dilupakan KSP (Koperasi Simpan Pinjam), banyak KSP sekarang yang bertindak seperti BPR (Bank Pekreditan Rakyat),” Jelas Dwi.

Pemerintah sekarang nampaknya harus berkaca pada kebijakan pemerintahan sebelum reformasi, khususnya mengenai kebijakan tentang mengelola ekonomi kerakyatan. Sungguh sangat memprihatikan slogan koperasi tersebut , semoga pemerintah dapat menyelesaikkan tugas tugasnya terutama di bidang koperasi agar slogan ituh hilang dari simbol per koperasian di indonesia.


http://gunadarma.ac.id/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar